Sunday, August 17, 2014

Paper crafting

As I grow older, I found myself try to search something to do in spare time. Means, i need a hobby. Belakangan ini, entah mengapa, aku selalu kepikiran untuk cari-cari sebuah hobi baru. Sejak main pinterest, hobi-hobi untuk bikin prakarya terasa sangat menarik. Mengingat keterbatasan keterampilan tangan yang dimiliki, minatku untuk punya hobi DIY pun jadi terbatas. Tapi aku kepengen menjajal yang satu ini: paper crafting alias prakarya dengan kertas. Pengalaman beberapa waktu lalu membuatkan sebuah sketch book mini dengan sebuah siluet gambar kuda *yang hasilnya malah mendekati seperti gambar naga*, membuatku tertarik untuk menjajal paper crafting yang lebih detil lagi. 

Seharian ini, si keponakan cewek nempel terus kayak lem. Daripada si kunyuk itu berkutat dengan games komputer dan hape untuk kesekian kalinya, akhirnya kuajak dia mainan gunting dan kertas. Sedikit ngintip di pinterest untuk bikin pola burung hantu, akhirnya aku menghasilkan tiga macam prakarya sekelas anak TK. Tapi, si dedek tetap aja kegirangan--mengingat para putri-putri Disney favoritnya dibikin dalam satu frame. 


Kalo melihat hasil jadinya yang seperti ini, kayaknya bakalan butuh waktu yang lama untuk bisa bikin paper craft yang secakep di pinterest. Seperti yang di bawah ini. 
 Well oh well, but it's good. Cause I think, I need a new hobby. A long-term difficult new hobby!

Friday, May 30, 2014

Sepucuk Surat Permintaan Maaf

Dear Kamu, 
Iya, kamu. Ku harapkan sampai juga surat ini untuk kamu baca. Kamu yang ku maksudkan sebetulnya jamak. Tapi aku ingin membuat ini kedengaran lebih personal.

It’s been rough months for me. Perjalanan kilat dari berbagai daerah, hutang yang menumpuk untuk dikerjakan dan waktu yang terus memburu. Rasanya seperti dihantui. Beberapa bulan ini sungguh terasa melelahkan buatku. Meskipun, memang rasanya aku kedengaran sangat manja dengan pekerjaan tak seberapa apabila dibandingkan dengan kamu. Tetapi, aku sesak nafas dengan semua yang menghampiriku beberapa bulan ini. Hingga puncaknya adalah malam ini. Aku tak tahu hantu mana yang menyambarku hingga membuatku kesetanan. Aku benar-benar bukan diriku sendiri. Aku tersesat dalam dimensi ruang kepalaku yang tidak menawarkan jalan apapun selain hanya tinggal dan menikmati begitu saja. Tanpa perlu repot-repot , tanpa tahu bahwa yang ku lakukan, keegoisan ini sungguh sangat melukaimu.

Aku tersesat dalam dunia kecil yang kubentuk sendiri. Aku tak punya keberanian untuk pergi dan memperbaiki segalanya. I messed things up. Dan sungguh, karena egoku pula aku menyakitimu.

Malam ini, satu pertanyaan besar menamparku dengan hebatnya. ‘Apakah aku punya hati?’. Dulu pertanyaan ini kedengaran sangat corny buatku. Namun, ketika kamu bertanya balik padaku, aku pun meraba-raba di dalam kedalaman diriku ini. Apa aku punya perasaan itu? Apa aku punya hati?

Maafkan aku yang telah berulang kali mengingkari janji hingga tak dapat dipercaya sedikitpun, maafkan aku telah mematahkan hatimu karena rasa takutku, maafkan aku atas semua keegoisanku, maafkan aku yang tak punya banyak waktu untuk memahami kamu barang sebentar saja, maaf karena aku membuatmu harus menangis dan marah sekaligus. Maaf karena aku tak mampu berbuat adil dan imbang dalam kehidupan kita.

Maaf saja tak cukup, pengandaian saja mungkin tak berarti. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa rasa penyesalanku begitu besar. Meskipun kini aku masih mencari hati dan perasaanku yang entah berceceran dimana, namun permintaan maafku ini hadir dari lubang yang berasal dari hatiku yang mungkin belum ketemu ini.

Aku harapkan masih belum terlambat untuk mengulang kembali dan memperbaiki segalanya.

30 Mei 2014

Dari aku untuk kamu

Sunday, April 27, 2014

Dear Sister

Pagi dini ini, ketika mendapat kabar darimu sungguh rasanya ikut berduka bersama dengan kamu. Satu hal yang paling kamu nantikan, satu hal yang paling sabar kamu tunggu, satu hal yang paling kamu jaga--kini telah pergi. Semestaku ikut terguncang karenanya. Tapi aku tahu bahwa kamulah yang paling sedih disini.

Aku membaca jejakmu dalam dunia maya. Melihat bagaimana dirimu menanti buah hati yang pada akhirnya tak mampu bertahan--mungkin untuk yang terbaik juga. Aku selalu berdoa dan mengharap bahwa engkau dapat menjadi seorang ibu dari anak-anak keren seperti halnya dua keponakan kita yang lain. 

Be strong sist, you know we love you so much :)

Thursday, February 13, 2014

Hello Again

Hidup dapat jungkir balik hanya dalam sekejap saja.
Suatu Senin, aku berdiri di peron stasiun--menangis sembari memeluknya.
Mengucapkan selamat tinggal dalam haru yang begitu mendalam. 
Seminggu kemudian, hari Senin juga, kami duduk berhadapan. Bicara mengenai kehidupan setelah ini semua. 
Kamu tidak jadi pergi itu kenyataan. 
Satu tahun hanya serasa lewat tujuh hari saja. 

Saturday, January 11, 2014

Hello and Goodbye

Menulis posting-an di sosial media manapun, hari-hari belakangan ini hanya akan membuat banyak orang berkomentar. Mungkin disini akan jauh lebih aman. Hal terakhir yang ku inginkan hanyalah orang lain yang berkomentar membuyarkan semua rasa yang sedang ku persiapkan. 

Dua hari sebelum aku mengucapkan sampai jumpa padanya. Another goodbye and i hope, it will lead to another hello one year later. Dia akan pergi merantau--pergi terbang ribuan kilometer jauhnya dari rumah dan tanah tempat kami berbagi cerita selama hampir 8 tahun ini. Selama ini, ku pikir, aku yang bakalan pergi duluan. Tak disangka justru malah dia yang akan pergi mengejar mimpi keluar dari zona nyaman yang selama ini melingkupi. Aku menyemangati dia untuk pergi. Aku ingin agar dia melihat dunia. Aku ingin dia pergi mengejar mimpinya. 

Mengucapkan selamat tinggal itu tidak mudah. Setelah waktu yang ku lalui dan selalu ada dia disitu. Bagaimana hidup tanpa dia? Aku membayangkan. 
Bagaimana rasanya nonton film di bioskop tidak bersama dia? Aku membayangkan.
Bagaimana rasanya dia tidak menghirup udara yang sama? Aku membayangkan. 

Dia pergi, tanpa janji apapun. Yah, aku tahu. Pada titik inipun aku dapat mengerti. Logis, bahwa rentang jarak dan waktu dapat mengubah apa yang kita miliki. 
I don't wanna over think about this anymore. Tidak ada titik balik atau perpisahan dramatis disini. Hidup terus berjalan. Dan kami akan mengejar mimpi masing-masing. 
Dan jika Tuhan masih menautkan hati kami, dan jika cinta--apabilan itu memang ada, pada pusaran waktu yang berjalan ini semua akan bermuara pada takdir. 

Dan tempatku berada akan terus disana--bersorak diujung jalan untuk mendukungnya mengejar kebahagiaan--seperti selama ini dan akan selalu begitu. 

Wednesday, January 1, 2014

Tentang Jogja yang berlalu lintas

Minggu pagi sungguh tepat untuk menikmati hari dengan berselancar menyusuri sosial media. Sembari asyik menyelami drama korea yang belakangan ini aku ikuti, ada sebuah foto menarik muncul di lini masa Facebook.
Sumber: FB disini
Foto tersebut menunjukkan kegiatan 'Jogja Last Friday Ride' pada tanggal 25 September 2013 yang lalu. Foto itu muncul dalam sebuah page diskusi mengenai kemacetan yang terjadi selama hampir 90 menit di perempatan tugu. Dalam diskusi tentu saja ada yang pro dan kontra. Wajar.
Ada yang menyuarakan pendapat bahwa boleh-boleh saja melaksanakan kegiatan komunal macam itu tetapi jangan sampai membuat pengguna jalan lain merasa terganggu karena aktifitas 'bersepeda'. Sementara seorang aktifis kenalan saya langsung bereaksi keras sebagai representasi bahwa orang-orang bersepeda tidak memiliki ruang bagi mereka dan balik menunjuk pengendara motor di Jogja belakangan ini makin menggila. Diskusi makin ramai, tentu saja.

Melihat foto dan diskusi yang sedang panas dibahas ini malah membuatku ingin bercerita.

Saya orang Jogja yang baru-baru ini memiliki kendaraan bermotor sendiri (baca: motor). Selama hampir 15 tahun, saya melakukan mobilisasi naik sepeda ataupun bis. Baru setelah lulus kuliah, motor menjadi pilihan karena kesibukan kerja dan tempat-tempat yang terjangkau oleh transportasi publik di Jogja. Naik motor di Jogja inipun seperti berada di tengah medan perang. Biasa mengutuki para pengendara motor yang kurang ajar membuat saya membuat self note bahwa saya nggak boleh jadi pengendara motor yang saya sendiri pernah maki-maki ketika naik bis kota dulu. 

Berat hati sebetulnya saya beralih dari penumpak transportasi publik menjadi pengendara kendaraan 
Tak jemu-jemunya saya mengatakan bahwa kesemrawutan lalu lintas di Jogja terjadi karena ketidak mampuan pemerintah kota mengelola transportasi massal yang representatif. Disamping pula mengenai kebijakan pembelian kendaraan bermotor seharusnya lebih diperketat lagi, baik motor maupun mobil.

Ruang lalu lintas di Jogja seharusnya terbuka bagi siapa saja. Namun bukan berarti menjadikan penggunanya sebagai raja jalanan. Patuhi rambu, jadi pengendara yang bijak. Semua membutuhkan ruang tetapi masing-masing harus dapat saling menghormati.

Jangan sampai Jogja terjebak menjadi kota dengan kemacetan luar biasa. Masih ada harapan untuk itu!