Wednesday, December 30, 2009

Drama Brutal

Berita ini sampai ditelinga--agak kelewat lama namun tetap membuat terhenyak. Cerita itu muncul di koran-koran beberapa waktu belakangan ini namun baru belakangan ini aku mengetahui bahwa korban pemuda yang meniggal di bunuh itu adalah adik kelasku SMA. Anak angkatan 2009 yang baru sebentar melangkah keluar ke dunia remaja, baru sebentar menanggalkan seragam abu-abunya, baru sebentar menjadi mahasiswa belagu ala anak muda semester pertama. Dia meninggal karena dibunuh oleh anak SMA yang merupakan anak genk sekolah yang jadi musuh sekolah kami. Kenakalan ala remaja tanggung. Tawuranlah, berantem sehabis sepulang sekolah, sekedar hajar sana hajar sini.

Yang membunuh justru yang masih anak sekolahan. 17 tahun dan dia sudah menghilangkan nyawa orang lain hanya karena..apa?
Pride yang dijunjung atau...apa?

Kejadian ini merupakan sebuah pelajaran yang penting. Refleksi pembentukan mental pemuda-pemuda Indonesia jaman sekarang. Bagaimana caranya membuat orang-orang yang jadi tunas bangsa ini tetap sehat otaknya dan tetap bersih hatinya. Atau apakah 12 tahun wajib belajar di sekolah hanya sekedar untuk bertarung di jalanan ala Fight Club. Tidak memungkiri, bukan karena dendam pribadi yang jadi penyebab drama brutal ini terjadi. Bisa jadi kedua belah pihak juga salah, dendam sekolah yang ya-ampun-it's-so-last-year memicu terjadi sentimen antar sekolah.

Lalu, mereka yang menjadi pendukung aksi untuk mengusut tuntas kasus oembunuhan ini membuat akun facebook. Di situs jejaring yang memulai pertengkaran--yang berbuntut pembunuhan inilah akhirnya juga menjadi salah satu tempat mereka untuk menunjukkan bahwa orang-orang melihat dan mengawasi segalanya. Situs jejaring yang paling ampuh masa kini menjadi tempat mereka bertemu dan berpendapat. Banyak provokasi hanya tinggal menuggu orang-orang nekad untuk berbalik membalas dendam atas segalanya. Orang bicara untuk menghukum mati lah, hajarlah..dan kita tampaknya bener-bener ingin cepat mengganti orang tersebut lalu. 'Mata dibayar mata'
yang kupikirkan sekarang bagaimana membuat lingkaran samsara ini putus?

Apa yang ingin ku katakan adalah mari kita bercermin. Melihat diri sendiri dan menjaga agar kemurnian hati tetap menjadi milik kita sendiri.

Goodbye, lit'brother just rest in peace wherever you are..

Saturday, December 26, 2009

Writing soul

Dari dulu menulis adalah kegemaran paling sakral dalam hidupku. Apapun bisa ku tuangkan dalam lembaran-lembaran tipis kertas. Aku menggambarkan perasaaan, menjelaskannya dalam kata--meski kadang hanya untuk komunikasi dengan diri sendiri, kadang ku visualkan perasaanku lewat gambar-gambar ekspresifku.

Meski sekarang harus ku akui semangat menulis perlahan meluntur. Bahkan, menulis justru ku lakukan hanya sekedar untuk mengerjakan tugas belaka. Tidak lagi ada khayalan indah mengenai petualangan seorang bocah bernama 'Unang' yang ku karang ketika aku kelas 6 SD. Tidak ada lagi cerita-cerita remaja yang ku impikan dapat dicetak dalam rubrik cerpen di majalah remaja favorit. Dan aku berhenti menulis untuk bercerita mengenai dunia ideal yang ada dalam kepalaku.

Meski tidak lagi berdekatan dengan fiksi, aku masih tetap menulis. Nggak bisa dikategorikan sebagai fiksi karena cerita hidupku toh adalah realita. Aku bertutur untuk diri sendiri--dengan kesederhanaan yang berlebihan.

Aku masih ingin melihat diriku bercerita suatu saat nanti.

Friday, December 4, 2009

Taman Bermain.

Ketika berumur sekitar 6 atau 7 tahun--atau ketika ingatanku masih terbatas ala kadarnya, aku teringat masa-masa masih bersama dengan Bapak. Sering kali dalam beberapa kesempatan kami sering diajak oleh Bapak bermain di kantornya. Bapak bekerja sebagai dosen Arsitektur di UGM. Belakangan ini aku baru tahu ternyata pekerjaan cukup banyak, dan ternyata pekerjaannya memakan waktu hingga larut malam.

Bermain di tempat orang tua bekerja merupakan satu pengalaman tak yang membekas sangat baik. Bayangkan saja, kadang dalam acara jalan-jalan kantor Bapak jadi salah satu tempat tujuan kami. Misalnya, malam minggu selepas makan malam bingung mau kemana malah kita mampir ke kantor Bapak. Buatku yang masih kecil, tentu hal itu sangat menarik dimana kita merasakan dunia orang dewasa bekerja. Ada banyak tumpukan kertas, papan tulis besar dengan bermacam-macam spidol, rautan mesin, tempelan magnet, hingga kulkas kecil yang berisi minuman soda. Dunia pekerjaan yang semua dibuat kaku, berantakan, dan serius namun malah jadi taman bermainku. Aku cukup menyukainya, mengunjungi kantor Bapak yang berupa sebuah meja besar dengan penuh tumpukan buku dan kertas dimana-mana. Maklum saja tukang gambar. Jelas karena perasaan bangga pada Bapak dengan pekerjaannya--yang dulu belum betul-betul ku mengerti.

Yah, hanya sekedar kebanggan anak kecil :)