Monday, December 31, 2012

Wait for it...

A year pass by. And it's true, that 2012 is a blast for every moment that i lived in, for every single day i had been through.

Tahun terbaik dalam hidupku, sejauh ini. Bukan karena hanya sekedar rentetan keberuntungan yang menghampiri namun juga ketidak beruntungan yang jadi momen lucu, sedih, dan tak akan terlupakan. Satu tahun ini, banyak hal yang terjadi.

3x memenangkan kuis dunia maya yang berhadiah barang-barang lucu. Jatuh dari sepeda dan memar di dagu dan dengkul. Penggalian di Blora dan proyek akhir tahun yang berhubungan dengan akademis. Nonton konser band idola dari sejak SMP yang dipikirnya hanya akan jadi mimpi belaka. Pergi ke Manila sendirian untuk mengikuti workshop akademis selevel anak Master. Patah hati dan menata hati atas jawaban perasaan selama ini. Hubungan percintaan yang kayak badai dan hujan. Fokus ngerjain skripsi dan akhirnya selesai. Dan terakhir, dipenghujung tahun 2012, patah tulang jari kelingking kaki sebelah kanan.

Momen dan momen datang berganti. Tak terduga, tak dinyana, luar biasa.
Dan momen lebih baik lagi adalah pergantian tahun menuju ke 2013 yang berarti akhir dari perjalanan yang lain. It's gonna be legendary year!

Monday, November 12, 2012

Pesta Demokrasi

If you're not vote, you can't complain - Aerosmith
Saya mendengar kalimat tersebut tatkala tv berita menyiarkan tentang Band Aerosmith yang mengeluarkan album teranyar mereka pada tanggal 6 November 2012 yang juga bertepatan dengan pemilu presiden Amerika. Album mereka keluar bukan dalam rangka kampanye politis--mereka tidak memihak namun tetap mengajak warga Amerika untuk memilih dan menyumbangkan suara demi negara.

Ya benar, jika kamu tidak menggunakan hak pilih mu maka kamu tidak boleh mengeluh. Pernyataan mereka sungguh menggelitik untukku. Hal itu berarti membenarkan diriku untuk dapat mengeluh pada kinerja pemerintah yang katanya telah dipilih di negara ini dengan demokrasi. Apapun pilihannya, entah memilih presiden yang sekarang atau pun yang berbeda. Kita boleh mengeluh pada kinerja pemerintah yang katanya juga telah diberi amanat oleh rakyat untuk dapat memajukan negara.

3 tahun pemerintah baru yang terpilih ini telah berjalan. Menuju pemilihan presiden yang akan diselenggarakan tahun 2014 nanti, semua orang nampaknya juga pasang badan sejak hari ini. Ada saja berita tokoh ini, tokoh itu, pemimpin ini, pemimpin itu, parpol ini, parpol itu. Semua orang mengeluh atas kinerja presiden yang sekarang. Banyak yang tidak puas, entah karena katanya politik pencitraannya yang bikin muak masyarakt. Lagi-lagi kita mengeluh, karena korupsi justru malah makin terang-terang dipraktikan tidak punya malu lagi. Sudah berapa banyak komplen kita kepada negara ini dibandingkan dengan pujian atas kinerja pemerintah yang sudah berjalan ini selama ini? Tapi rasanya keluhan kita justru tidak membuat perubahan apapun. Politik negeri ini masih saja seperti ini. Monoton dan menyebalkan.

Apakah nanti datang saatnya, seorang pemimpin yang membuat kita tidak akan pernah mengeluhkan kepemimpinannya hadir di negara ini? Yang pasti saya harap, orang itu bukan politisi kacangan seperti yang di televisi. Namun sosok orang yang akan membuat kita simpatik--dibanding mengeluh kita akan bekerja sama dengan pemimpin tersebut dengan tidak mengeluh. 

Sunday, March 25, 2012

Cenayang

Masa depan itu selalu jadi misteri yang memikat. Pesona misterius itu yang menyebabkan banyak orang berlomba-lomba menyingkap tabir masa depan. Skip hari ini--hanya sekedar ingin tahu apa esok ekspektasi kita menjadi kenyataan.

Kadang kala, manusia membutuhkan pertanda untuk melangkah maju. Oleh sebab itulah, rubrik horoskop laku selalu dicari kala membaca majalah ataupun tabloid gosip. Manusia terkadang tidak sabaran untuk tahu kehidupannya mendatang. Tentu kita kepengen tahu, kayak apa sih jodoh kita, kerja apa besok itu, apa kita akan hidup sukses, dan pertanyaan lain. Makanya, usaha ramalan selalu laris manis. Terutama untuk orang yang punya "bakat".

Tapi gimana ada kalanya masa depan itu menakutkan sehingga membuat kita terkadang ragu untuk melangkah. Ada kala, kita tidak ingin tahu masa depan kita. Biarlah misteri tetap menjadi misteri.

Lalu, bagaimana seseorang mengatakan masa depanmu yang utuh bahkan tanpa kamu minta. Lebih-lebih lagi, sebetulnya kamu tidak berharap orang itu memberi tahu masa depan mu. Dan hidupmu mendadak tidak lagi seru. Hidup mu rasanya berputar ke arah yang membingungkan. Yang luar biasa adalah sahabat mu sendiri yang membacakan masa depan untukmu tanpa kamu minta. Serius, aku justru tersesat.

Oh kraby patty!

Thursday, March 8, 2012

Kontemplasi Sebelum Tidur

Sebetulnya saya sudah mau bablas tidur karena buru-buru ingin segera mengganti hari ini. Akan tetapi, kenangan datang tanpa permisi dalam satu kedipan mata ketika malam semakin merayap gelap. Selalu begitu. Saat sedang bengong dengan pikiran random saya--yang biasanya nggak terlalu penting seperti besok pengen pakai baju apa, tiba-tiba saja I'm having a moment. Saya teringat dengan sahabat baik saya yang sekarang sudah hijrah ke ibukota untuk bekerja, bersamaan dengan kenangan paling awal kami dapat berkawan sekental ini. Lalu, disitulah banjir kenangan saya tentang sahabat-sahabat. 

Di posting sebelum-sebelum ini saya pamer sedikit tentang persahabatan kami yang sudah sewindu itu. Nah, gara-gara kenangan nostalgia ini, saya jadi ingat memori lawas awal pertama kali kami mulai "bersahabat" yang dalam artiannya, dimana kami mulai sering main bareng, jalan-jalan, curhat, dll. 

Disitulah, malam ini saya teringat untuk pertama kalinya kami semua janjian untuk nonton film di bioskop lama (bukan jaringannya 21cineplex). Saya teringat, bagaimana perjalanan naik bis berdua dengan (calon) partner in crime saya waktu itu. 2 cewek tomboy, dengan gaya kayak mbah dukun (si sahabat pake kaos tanpa lengan kayak mbah dukun dan saya pake' jaket item seperti asisten mbah dukun), keduanya berambut sama-sama jabrik waktu itu, cuek dan nggak ada cakep-cakepnya sama sekali. Kilasan kenangan bergulir, ketika akhirnya kami batal nonton karena antrean panjang yang tidak memungkinkan untuk dapat tiket, lalu satu rombongan memutuskan untuk nongkrong saja di rumah salah satu kawan yang paling dekat dengan gedung bioskop. Seperti biasa ketika kami semua berkumpul yang ada hanya ketawa-ketiwi nggak karuan. Entah menertawakan hal apa. Yang bisa saya lihat hanya di dalam kenangan itu kami semua tertawa lebar tanpa beban, galau paling mentok kami hanyalah seputaran PR Kimia yang nggak bisa dikerjain dan cowok cakep dari kelas sebelah. 

Saya menertawakan kenangan tentang persahabatan kami selama SMA. Perjalanan yang lagi-lagi terasa seperti mimpi. Menengok kami semua yang masih bersekolah dulu rasanya tiada duanya, sekarang ini aku melihat kami semua sudah menapaki jalan masing-masing. Semua telah berpindah menuju jalan masa depan masing-masing. Kami yang polos dan naif dulu itu kini berganti menjadi orang yang lebih dewasa. Dulu kami sekedar anak-anak ingusan yang sering bikin jengkel guru, namun sekarang seorang teman bahkan mulai melangkah maju membangun rumah tangganya sendiri. 

Rasa takut menjadi dewasa kadang masih saja membayangi. Jelaslah, saya sendiri tidak yakin dengan masa depan yang agak absurd. Terbiasa dipilihkan jalan, sekarang kadang rasa takut menggerogoti tatkala harus memilih masa depan saya sendiri. 

Pada titik ini, saya cuman bisa ketawa. Andai hidup hanya sekedar mengkhawatirkan gimana caranya bikin contekan untuk ulangan kimia saja :p

Friday, March 2, 2012

Coldplay- The Scientist (cover)

Rindu

Rindu bukanlah kata yang mudah terucap dari bibirku. Untukku yang jauh dari kebiasaan untuk berkata dengan penuh rasa sayang atau semacamnya. Kata rindu yang paling mudah ku ucapkan hanya untuk bapak saja. Mungkin karena memang kami sudah lama sekali tidak bertemu. Kebiasaan jelek sih, bicara rindu hanya ketika tidak dapat bertemu. Hanya ketika raga sudah tak dapat berjumpa di dimensi dunia ini. Padahal, kenapa tidak bicara rindu ketika masih dapat bertegur sapa dan melempar senyum.

Seperti ini: "Aku merindukan mu. Bahkan ketika sudah bertemu pun aku masih tetap saja merindukanmu."

Gombal?
Aku bertaruh orang yang bicara begitu pada ku hanya akan mendapatkan tawa berderai-derai yang tak kunjung berhenti. Sayang sekali, aku terlalu kaku, dingin dan menyebalkan untuk dapat menerima hal-hal manis seperti itu. Sungguh tidak sopan.

Rindu bukanlah kata yang mudah terlontar dari ku. Bahkan pula, mungkin sulit untuk mengakui bahwa aku merindukan seseorang dengan segenap perasaan ku. Kenapa rindu harus muncul ketika tidak bertemu?

Thursday, January 26, 2012

29 Menit

Pagi ini aku mengambil trayek trans jogja menuju kampus dengan tujuan mulia--hendak menghadap dosen pembimbing. Beberapa hari ini rasanya pikiranku seperti kebas, lagi-lagi karena skripsi dan lain-lainnya. Datanglah bus yang ku tunggu sejak tadi. Akhirnya. Ku pandangi jam dinding yang ada di shelter bus, "pukul 10.10 pagi". Tampaknya aku telah menunggu 10 menit untuk mendapatkan bus tujuan ku. Lumayan cepat juga tidak seperti biasanya. 

Ketika masuk ke dalam bus, aku tidak memilih tempat duduk di belakang--seperti favorit ku jika naik bus ini. Ku ambil sembarang tempat kursi kosong yang ada tanpa berpikir. Lalu disitulah. Mata kami bersirobok. Beradu pandang untuk pertama kalinya. Tanpa tedeng aling-aling dalam otakku bekerja, mengingat tanpa permisi judul buku Lupus terbitan lawas, "Makhluk Manis Dalam Bis". 

Senyum tipis perlahan terbentuk di wajah kusut ku. 

Kami duduk berhadapan. Tak sengaja karena pilihan duduk ku yang sembarangan itu tadi. Sembarangan seperti takdir. Apa? Belum-belum kepala ku sudah panas juga karena pikiran ngelantur tentang takdir. Aku mendengus dan dia menolehkan pandangannya padaku. Cepat-cepat langsung aku menunduk dan pasang tampang sok inosen--aku tidak mau dicap sebagai stalker dadakan. Ku pasang sumpelan kuping, menyalakan iPod dan sembarangan memilih lagu. Tak lupa, ekor mataku perlahan-lahan mencuri pandangan padanya.

Entah sejak kapan, aku tidak seperti ini? Sebulan? Tiga bulan? Atau kah sudah setahun? Perasaan normal untuk mengagumi seseorang yang antah berantah entah darimana. Aku terkagum-kagum pada diriku sendiri. Patah hati itu memang mengerikan karena kita akan kehilangan perasaan normal mu sebenarnya. Seperti halnya jatuh cinta, patah hati akan membuat segalanya tampak tidak pada tempatnya. Sayangnya bukan senyum sinting jika ketemu pujaan hati tapi buraian air mata yang tak kunjung berhenti karena cinta itu telah patah. 

Ku gelengkan kepala ku. Tepat di depan ku sudah ada versi Indonesia dan lebih muda dari Cha Seung-Won. Mulai dari potongan rambutnya, kumis tipis yang sama sekali tidak seperti kumis lele, dan parasnya yang sungguh memukau. "Helloooooo..masih juga kah kepala mu mengingat cinta lama yang sudah berceceran itu?"

Aku tersenyum dengan pandangan setengah melamun. Tidak pada orang itu tentu saja--nanti aku dikira cewek maniak. Aku tersenyum pada jendela bus yang bergetar ketika bergerak. Pura-pura pasang tampang sok cuek padahal setengah mati mata ku jumpalitan mencuri ingatan manis tentang orang itu.

Pikiranku mulai bekerja. Lakukan hal gila. Minta kenalan. Minta nomer telpon. Apa saja hal gila dan normal untuk cewek-cewek cantik yang iseng mencari pacar. Sementara otak waras ku berteriak untuk realistis untuk tidak melakukan hal konyol apapun itu tentang laki-laki dan mempermalukan diri sendiri. 

Aku kehilangan nyali seolah telah patah karena kemampuan ku untuk menarik perhatian cowok seperti telah pudar. "Padahal dulu...dulu pun kamu juga tidak punya ide untuk menarik perhatian laki-laki kan'? "
Aku tertawa sendiri sehingga perempuan disebelah menengok ke arahku. Memastikan aku orang yang cukup waras untuk duduk bersebelahan. 

Ok. Mungkin sekarang saatnya aku harus spontan. Apa saja yang dapat mengusir kebas dalam dadaku yang semakin lama semakin tidak mutu. Ajak kenalan atau iseng mengajak ngobrol cowok asing di tempat yang tidak biasa. Memalukan juga tak apa-apa. Aku menyemangati diri ku sendiri. Berjuang mencari versi diri ku yang dulu. Aku bersiap hendak menyapanya. 

"Perhatian bagi para penumpang, sebentar lagi kita akan sampai di shelter panti rapih. Jangan lupa barang bawaan anda." Penjaga pintu bus berujar dalam kebosanan yang sudah dilakukan berkali-kali sepanjang hari ini. 

Aku tertawa. Ini pemberhentian ku--untuk menapak pada realita tidak normal ku dan berhenti mengagumi cowok ganteng yang ku temukan di dalam bus. Gagal sudah misi konyol ku, namun sepenuh hati aku berterima kasih pada otak waras ku yang membuatku tidak melakukannya. Aku menengadah menatap sekilas jam dinding yang bertengger di atas pintu keluar shelter tempat ku turun. "Pukul 10.39", ku pastikan waktu janjian dengan dosen nanti siang. 

Langkah ku mantap menapak untuk segera menuju kampus. Aku tersenyum lebar, masih dengan mata ku yang kuyu bekas begadang semalam, dan kebas yang kembali merasuk di dalam dada. 29 menit aku berada di surga--tempat dimana aku merasa normal. 

Monday, January 23, 2012

Rasa Yang Berpilin

Aku belajar mereka rasa,
Yang terkadang begitu tak terkatakan
Rasa yang silih berganti
Menjadi jalinan emosional diantara aku dan otakku yang bertaruh
Mana yang benar?
Mana yang keliru?

Rasa itu datang dengan kebimbangan
Pula dengan rasa pilu
Mendaras pada hati ku bertubi-tubi bagai sembilu
Seperti untaian doa yang terus menerus ku ucapkan lirih
Pada jiwa untuk dapat kembali pulih
Bahkan esok matahari kan terbit seperti layaknya

Rest In Peace for Steve

'You've got to find what you love,' Jobs says

This is a prepared text of the Commencement address delivered by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, on June 12, 2005.
I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.
The first story is about connecting the dots.
I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?
It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.
And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.
It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:
Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.
None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, it's likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.
Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.
My second story is about love and loss.
I was lucky — I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation — the Macintosh — a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.
I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me — I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.
I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.
During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I returned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.
I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.
My third story is about death.
When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.
Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything — all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.
About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.
I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.
This was the closest I've been to facing death, and I hope it's the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:
No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.
Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.
When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.
Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.
Stay Hungry. Stay Foolish.
Thank you all very much.

Poked by Reality

Semesta seolah menjawil ku lewat seorang teman yang berkata "Jogja sepi ya, kita ditinggal teman-teman yang lainnya". Dengan diplomatis dan sedikit perih ku jawab, "Memang seharusnya kita juga bekerja bukannya malah seperti sekarang ini."
Aku punya 5 sahabat dekat yang sudah ku kenal semenjak SMA. Mereka yang terbaik. Tempat ku berbagi keluh kesah hingga bahagia. Satu persatu tentu saja telah menempuh jalann menuju masa depan. "Jogja menjadi sepi" itu hanya sebatas ungkapan bahwa meski kami masih berada di tempat yang sama namun arah kami telah pergi. Seorang teman yang pertama kali memutuskan untuk memilih jalan yang jauh berbeda dari kami, bekerja layaknya orang dewasa 7-8 jam kerja sementara kami berlima memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Berikutnya, seorang kawan hengkang menuju Semarang melanjutkan studinya. Tahun 2011 ini, tiga sahabat ku lulus kuliah. Sudah ada yang kerja di Bank dan satu lagi hijrah ke Jakarta ingin berkarya di televisi. Yang seorang lagi sedang menunggu untuk sekolah ke program Master.
Aku? Lulus pun belum. Berpikir tentang masa depan rasanya tidak ada yang terbayang dibenak ini. Seharusnya aku memang sudah pergi tetapi aku tertinggal. Mau sampai kapan? *ini sedang dibikin petanya mencari jalan keluarnya #wacana

First and Forever

I miss my Dad when..

Pagi belum sampai pukul 9 pagi tetapi aku sudah kangen dengan Bapak gara-gara pipa kamar mandi bocor dan air nyembur kemana-mana.
Ketika listrik rumah sering korsleting, aku juga rindu Bapak.
Ketika air rumah nggak bisa mengalir, sungguh setengah mati rinduku padanya..
Ketika langit-langit kamar mandi rubuh, aku kangen sekali sama Bapak..
Ketika aku menghitung jumlah ulang tahun ku, aku jadi kangen sama Bapak..
Ketika sudah 13 tahun tidak ketemu, rindu ku makin menjadi-jadi..

Selamat Pagi

Ketika terjaga pagi ini, otak rasanya sudah memburu untuk berpikir. Aku ingin membuat sebuah peta besar kehidupan ku. Memetakan tujuan hidup dan melakukan sesuatu yang "besar" maknanya untuk dunia ini.
Sounds so amazing, ha? Tunggu saja, 1-2 hari pasti mimpi besar ku sudah hilang bagai kepulan asap. Aku ini perancang mimpi paling produktif. Hampir tiap waktu otakku bekerja keras untuk merancang mimpi-mimpiku yang hanya hidup dalam kepala. Aku produktif merancang tapi tidak pernah dapat mewujudkannya dalam kenyataan. Yes! I am the worst dreamer.
Aku lah contoh dari seorang pemimpi gagal. Malas. Selalu saja jadi penyakit yang tak kunjung sembuh dalam diriku. Bagaimana ya caranya mengenyahkan rasa malas yang lama-lama rasanya semakin akut menyangkut dalam diri ku.
Namun, pagi mendung di bulan September, aku menerawang masih dalam setengah tertidur bahwa aku ingin menciptakan versi diriku yang lebih keren dari hari kemarin. Versi diri yang ku membanggakan untuk diri ku sendiri dan ibuku.
"Bismillah.."seperti kata penyanyi Nasyid, semua harus dimulakan dengan menyebut Tuhan.

Menunggu Hujan

Musim penghujan seharusnya sudah hadir di depan pintu. Namun, sepertinya ia malu-malu untuk mengetuk. Baru mendungnya yang mengumpul di atas atap rumah ku. Maka, biarkan aku berdiri di tepi jendela, mendongakkan kepala lalu menatap langit sambil berharap hujan akan turun hari ini.