Saturday, January 11, 2014

Hello and Goodbye

Menulis posting-an di sosial media manapun, hari-hari belakangan ini hanya akan membuat banyak orang berkomentar. Mungkin disini akan jauh lebih aman. Hal terakhir yang ku inginkan hanyalah orang lain yang berkomentar membuyarkan semua rasa yang sedang ku persiapkan. 

Dua hari sebelum aku mengucapkan sampai jumpa padanya. Another goodbye and i hope, it will lead to another hello one year later. Dia akan pergi merantau--pergi terbang ribuan kilometer jauhnya dari rumah dan tanah tempat kami berbagi cerita selama hampir 8 tahun ini. Selama ini, ku pikir, aku yang bakalan pergi duluan. Tak disangka justru malah dia yang akan pergi mengejar mimpi keluar dari zona nyaman yang selama ini melingkupi. Aku menyemangati dia untuk pergi. Aku ingin agar dia melihat dunia. Aku ingin dia pergi mengejar mimpinya. 

Mengucapkan selamat tinggal itu tidak mudah. Setelah waktu yang ku lalui dan selalu ada dia disitu. Bagaimana hidup tanpa dia? Aku membayangkan. 
Bagaimana rasanya nonton film di bioskop tidak bersama dia? Aku membayangkan.
Bagaimana rasanya dia tidak menghirup udara yang sama? Aku membayangkan. 

Dia pergi, tanpa janji apapun. Yah, aku tahu. Pada titik inipun aku dapat mengerti. Logis, bahwa rentang jarak dan waktu dapat mengubah apa yang kita miliki. 
I don't wanna over think about this anymore. Tidak ada titik balik atau perpisahan dramatis disini. Hidup terus berjalan. Dan kami akan mengejar mimpi masing-masing. 
Dan jika Tuhan masih menautkan hati kami, dan jika cinta--apabilan itu memang ada, pada pusaran waktu yang berjalan ini semua akan bermuara pada takdir. 

Dan tempatku berada akan terus disana--bersorak diujung jalan untuk mendukungnya mengejar kebahagiaan--seperti selama ini dan akan selalu begitu. 

Wednesday, January 1, 2014

Tentang Jogja yang berlalu lintas

Minggu pagi sungguh tepat untuk menikmati hari dengan berselancar menyusuri sosial media. Sembari asyik menyelami drama korea yang belakangan ini aku ikuti, ada sebuah foto menarik muncul di lini masa Facebook.
Sumber: FB disini
Foto tersebut menunjukkan kegiatan 'Jogja Last Friday Ride' pada tanggal 25 September 2013 yang lalu. Foto itu muncul dalam sebuah page diskusi mengenai kemacetan yang terjadi selama hampir 90 menit di perempatan tugu. Dalam diskusi tentu saja ada yang pro dan kontra. Wajar.
Ada yang menyuarakan pendapat bahwa boleh-boleh saja melaksanakan kegiatan komunal macam itu tetapi jangan sampai membuat pengguna jalan lain merasa terganggu karena aktifitas 'bersepeda'. Sementara seorang aktifis kenalan saya langsung bereaksi keras sebagai representasi bahwa orang-orang bersepeda tidak memiliki ruang bagi mereka dan balik menunjuk pengendara motor di Jogja belakangan ini makin menggila. Diskusi makin ramai, tentu saja.

Melihat foto dan diskusi yang sedang panas dibahas ini malah membuatku ingin bercerita.

Saya orang Jogja yang baru-baru ini memiliki kendaraan bermotor sendiri (baca: motor). Selama hampir 15 tahun, saya melakukan mobilisasi naik sepeda ataupun bis. Baru setelah lulus kuliah, motor menjadi pilihan karena kesibukan kerja dan tempat-tempat yang terjangkau oleh transportasi publik di Jogja. Naik motor di Jogja inipun seperti berada di tengah medan perang. Biasa mengutuki para pengendara motor yang kurang ajar membuat saya membuat self note bahwa saya nggak boleh jadi pengendara motor yang saya sendiri pernah maki-maki ketika naik bis kota dulu. 

Berat hati sebetulnya saya beralih dari penumpak transportasi publik menjadi pengendara kendaraan 
Tak jemu-jemunya saya mengatakan bahwa kesemrawutan lalu lintas di Jogja terjadi karena ketidak mampuan pemerintah kota mengelola transportasi massal yang representatif. Disamping pula mengenai kebijakan pembelian kendaraan bermotor seharusnya lebih diperketat lagi, baik motor maupun mobil.

Ruang lalu lintas di Jogja seharusnya terbuka bagi siapa saja. Namun bukan berarti menjadikan penggunanya sebagai raja jalanan. Patuhi rambu, jadi pengendara yang bijak. Semua membutuhkan ruang tetapi masing-masing harus dapat saling menghormati.

Jangan sampai Jogja terjebak menjadi kota dengan kemacetan luar biasa. Masih ada harapan untuk itu!