Tuesday, March 17, 2009

BEHAVE!

Sebetulnya aku tidak terlalu benci rokok. Koreksi. Asap yang dihembuskan dari mulut seseorang setelah menghisap dalam-dalam sepuntung rokok. Kebetulan, aku orang yang cukup tahan dengan asap rokok karena orang-orang di lingkunganku banyak juga yang merokok. Antara lain, kakak laki-laki ku yang paling tua--walaupun sekarang sepertinya sudah berhenti sama sekali, dan tentu saja kebanyakan dari teman-teman cowokku memang banyak yang merokok. Dari kecil aku cukup tahan berdekatan dengan orang yang merokok karena dulu sekali, waktu aku masih rajin dengan kegiatan remaja masjid, sudah banyak teman-teman cowokku--yang meski masih SMA, sudah mulai merokok. Dan mengenal dekat salah satu dari mereka berarti secara otomatis aku juga dekat dengan rokok.



Aku bukan perokok. Sama sekali belum pernah menghisapnya dan hal itu nggak perlu repot ku jelaskan dengan memperlihat hasil x-ray paru-paru untuk membuktikannya. Setidaknya aku merasa cukup sehat. Sepanjang 20 tahun hidupku, aku adalah karin si perokok pasif.



Sebetulnya, aku tidak terlalu keberatan dengan para perokok aktif yang selalu ngebul dimana-mana itu. Yah, mengingat, hukum di Indonesia yang terlalu lemah untuk dipatuhi. Merokok buat ku juga bukan dosa moral yang besar. Hanya saja, aku membenci setengah mati perokok bego yang sembarang mengeluarkan polusi udara itu tidak lihat tempat.



Dan aku punya pengalaman paling buruk dalam hal itu. Suatu hari, seperti biasanya aku melompat ke dalam bis kota untuk pergi kuliah. Bis kota yang ku naiki merupakan semacam mini bus dengan satu pintu yang memuat hanya separuh orang dari bis kota besar biasanya. Bis kota yang ku naiki kali ini merupakan mini bus dengan tipe jendela kecil yang berada di bagian atas dekat dengan langit-langit. Tidak seperti jendela bis yang biasanya lebar dan berada sejajar dengan kursi penumpang. Bis ini sungguh biadab. Sirkulasi udaranya benar-benar buruk oleh karena kecilnya ukuran jendela. Ergh, untung aku naik di pagi hari ketika suhu udara masih cukup sejuk. Jangan coba-coba naik bis macam itu tengah siang di hari-hari musim kering. Rasanya seperti di sauna.



Lalu, si supir menghentikan bis untuk menaikkan penumpang biadab ini. Seorang bapak, masih berusia sekitar akhir 30-an, menggenggam sekotak djarum super. Aku hanya melirik ngeri. Berdoa dan berharap kemungkinan terburuk dalam otak tidak terjadi. Sial! Bapak itu menyulutkan api dan membakar rokoknya. Argh! Asap berputar dalam ruang bis yang sempit. Bis itu seperti di ruang pengasapan. Tak lama, seorang pemuda naik lagi, lebih parah dengan rokok yang menyala-nyala di tangannya. Sial! Sumpah rasanya bis itu udah kayak ruang pengasapannya Hittler.



Aku benar-benar tidak terlalu mempermasalahkan orang-orang yang merokok seandainya mereka mengerti bagaimana harus bersikap. Merokok di tempat sempit sekian meter itu. Merokok harus diakui sebagai hak hidup orang. Kemerdekaan manusia manapun yang mencari nikotin demi paru-paru mereka. Benda yang tidak perlu digubris kehalalan atau keharaman karena semua itu sudah diurus di kantor ke-malaikatan sana. Tapi, kalo orang lain hampir mati karena dicekoki oleh asap seperti yang ku alami?



Aku tidak sedang menyalahkan siapa-siapa, hanya mengajak untuk bersikap lebih logis dan sedikit berbaik hati dengan orang lain. Sedikit kebaikan hati untuk tidak sembarangan merokok.